Ponorogo, 10 Desember 2012
Perjalanan ke Pacitan, Minggu 9 Desember 2012
Kesibukan suamiku dan kedua sahabatku
di kantor dengan rutinitasnya yang teramat padat dan membosankan menjadikan
kami jarang bisa refreshing bersama.
Sering terbesit dalam angan, kami ingin mencari hiburan yang meyejukkan mata
untuk melepas penat dan menenangkan hati yang galau ini (*sama-sama mikir kami belum
dianugrahi buah hati yang alim dan sholeh*).
![]() |
Seftyan, Lovely Hubby Action di Teleng Ria Pacitan |
Dolan bareng yang sudah lama kami nantikan ini,
begitu sangat menyenangkan. Mengingat, beberapa kali sama teman-teman ingin
bepergian bersama tapi ndak jadi juga. Tanpa rencana, pagi terima sms, justru kami
langsung nekad berangkat. Wah mantab ! Sama seperti beberapa waktu lalu, saat
kami berempat menuju Solo, Jawa Tengah. Saya dengan suami, beserta dua teman
kami, Andris dan istrinya, Dwi.
Pacitan, Kota 1001 Goa |
Kabupaten Pacitan memang terkenal
memiliki keindahan obyek wisata. Tempat kelahiran Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) ini memiliki keunggulan dari hamparan laut yang berada di
kawasan Samudera Indonesia. Ada 17 pantai di Pacitan yang memiliki keunikan
tersendiri di setiap obyek wisata pantai tersebut. Selain pantai, juga terdapat
banyak Goa (Gua) sehingga Pacitan juga disebut “Kota 1001 Goa” dan Hot Spring (Pemandian Air Panas)
Begitu banyak tempat wisata yang menarik
di Pacitan sehingga wisatawan tidak akan kehabisan ide untuk bersenang-senang.
Mulai dari surfing, berenang, snorkelling, susur pantai, caving, menikmati
sunset, camping, wisata kuliner hingga mandi air panas di hot spring.
Perbukitan Longsor |
Dari Ponorogo, kami langsung bertolak
ke Pacitan Kota mengendarai sepeda motor melewati Kecamatan Slahung. Jalan perbatasan kedua Kabupaten ini meliuk-liuk, menikung dan ekstrim. Seru sekali bepergian bersama suami tercinta, tangan harus melingkar di pinggang hehe, tapi tetap harus ekstra hati-hati melewati area ini. Pacitan dikelilingi bukit, jadi medan terlalu berbahaya untuk perjalanan malam.
Dulu di saat musim hujan ke sini, sering terdapat tanah yang ambrol (longsor) dan pohon tumbang dari atas, pernah pula jembatannya rusak karena tergerus banjir dan jalur ini pun lumpuh. Sungguh kasihan penduduk yang berada di sini saat itu. Karena Pacitan perbatasan (bagian timur) dekat dengan Ponorogo, daripada ke kota Pacitan.
Setelah memasuki wilayah Pacitan, mantab ... sekarang jalannya sudah lebar dan halus. Berbeda dengan beberapa tahun lalu yang masih sempit dan terdapat reruntuhan tanah yang semakin mempersempit jalan. Yah, tak terasa sepagi ini kami telah sampai di Pacitan, Jawa Timur
![]() |
Sungai Grindulu |
Jalan beraspal
yang kami lewati dibangun tepat di pinggir sungai yang selalu menjadi latar
belakang jalanan sepanjang pegunungan ini dan itu sungguh indah, sangat cantik
alami. Keindahan alam jalanan sepanjang Pacitan-Ponorogo ini hijau, bersamaan itu
kami juga menyusuri Sungai Grindulu berasal dari Gunung Wilis yang membentang
dari Desa Gemaharjo, Kebondalem, Tegalombo menuju muara laut di Pacitan.
Saya semakin memegang erat pinggang suami, terlebih saat berpapasan dengan mobil atau bus dan kami berada di kiri jalan, yang sama sekali tak ada pagar pengaman, hanya ada tong batas yang besar. Woooow.. benar-benar memacu adrenalin.
Suasana masih pagi dan kami berempat
berhenti sebentar mengisi perut yang sudah berdemo “lapar” dan harus diisi.
Kami pun menikmati sarapan aneka sayuran, daging dan ikan di warung makan yang
berada di jalan masuk menuju Pantai Teleng Ria yang berada 3 km dari pusat kota
dan kami tempuh 5 menit dari kota. Alhamdulillah
harganya pun relatif murah.
Kami bergegas membeli tiket yang
dulunya Rp 3000/orang saat tahun 2008 kini naik seharga Rp 5.000/orang dan
Rp.2000,-/ kendaraan roda dua Rp.10.000,- untuk mobil atau bis. Kenaikan ini karena Swastanisasi
Pantai Teleng Ria yang dilakukan Pemkab Pacitan kepada PT. EL. John Tirta Emas
Wisata, investor yang berhasil menyulap kawasan wisata di Bangka Belitung.
Hal ini terus memicu perselisihan dengan warga masyarakat disekitar Pantai. Terlebih
saat event-event tertentu, harga tiketnya bisa naik sampai Rp. 10 ribu/orang.
Mahal juga yach.Kami segera masuk karena masih banyak
tujuan dalam satu hari ini.
Pantai Teleng Ria merupakan merupakan lautan yang
menjorok ke darat atau biasa disebut teluk. Pantai ini juga dalam jajaran /
deretan Pantai Selatan dengan luas pasir putih sepanjang sekitar 3 km. Pantai
ini diapit pegunungan, di sebelah kanan maupun kirinya, ada dua dataran tinggi
yang merupakan bagian dari pegunungan kapur Selatan yang membujur dari Gunung
Kidul ke Trenggalek, menghadap Samudera Indonesia. Sehingga menurut para
nelayan, pantai ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Lalu lalang kapal-kapal dagang
atau kapal-kapal ikan di pelabuhan yang berada di sisi barat kawasan Pantai
Teleng Ria menjadikan suasana di sekitar Pantai Teleng Ria lebih ramai. Kita dapat
membeli ikan segar hasil tangkapan nelayan secara langsung atau sekadar
melihat-lihat kapal nelayan yang bersandar. Selain itu ada juga tempat pengolahan terasi, jadi jangan heran bila menemukan ikan-ikan kecil yang kering dijemur sebagai bahan dasar terasi.

Saat itu ombaknya terlalu besar,
sehingga beberapa petugas memperingatkan wisatawan dengan meniup peluit.


Sambil menikmati dingin-hangatnya air
pantai, kami berempat asyik berphoto menikmati indahnya pantai. Meskipun
matahari semakin menyengat, tak mampu untuk menyurutkan langkah para wisatawan
untuk menikmati suasana pantai. Udaranya masih terasa sejuk layaknya
hembusan angin pegunungan.
Di sana juga disewakan perahu untuk
mengelilingi dan menuju tengah laut, tapi suami phobia sama “tengah laut”
jadinya takut naik perahu. Kami hanya bisa nangkring di atasnya numpang narsis di
pinggir pantai hehe.
![]() |
Titanic ala Prau Gethek |
Sungguh menyenangkan sekali, bagaikan
masa kecil kurang bahagia hehe. Seperti anak kecil yang bergelayut manja, para
suami pun menggendong kami, istri tercinta meskipun berat. Duh, bahagia rasanya
menikmati moment langka seperti ini.
Kami juga melihat nelayan yang
melayangkan jaring dan melebarkannya agar ikan yang didapat lebih banyak.
Sayang sekali, kondisi Pantai Teleng
Ria kurang bersih, terdapat banyak sampah di sekitar pantai. Bisa jadi,
kurangnya pengelola petugas kebersihan atau kesadaran wisatawan kurang. Banyak
orang yang buang sampah sembarangan. Dan ini harus ditekankan, diberi sangsi
misalnya, agar tidak ada sampah makanan, pampers, bungkus makanan, ranting
pepohonan dan sampah lainnya yang berserakan.

Fasilitas di sana cukup memadai. Tempat
parkirnya luas, ada mushola, berikut
deretan kios-kios penjaja makanan/minuman yang menawarkan berbagai macam menu, penjual oleh-oleh makanan dan
cindera mata / souvenir, juga penjaja makanan yang menjual ikan asap dan beragam hasil laut
lainnya. Kami pun juga membeli oleh-oleh sale pisang khas Pacitan, ikan asap,
udang dan lainnya.
Teleng Ria juga dilengkapi
dengan wahana water
park dan play ground, arena bermain untuk anak,
kolam renang , juga
penginapan sehingga sangat cocok untuk wisata keluarga. Jumlah kamar yang tersedia di sini masih sangat
minim. Sehingga terkadang tak sedikit pengunjung yang mencari penginapan di
sekitar kota Pacitan (di luar area pantai) terutama di saat ramai.
Terdapat pula Restaurant atau
café yang menyediakan menu masakan yang berbeda-beda. Masakan khasnya berupa seafood
dan makanan daerah setempat. Untuk restaurant buka kapan saja dan untuk café
biasanya buka hanya pada malam hari.
Kami juga melewati camping
ground serta panggung Bonggo Budoyo untuk
acara budaya, event kebudayaan daerah setempat. Saat itu
hari Minggu, dan digunakan untuk hiburan dangdut. Area Bumi Perkemahan (Pancer
Door) yang luas, bisa menampung banyak orang menjadikan Pantai Teleng Ria
pernah dijadikan sebagai tempat berkemah se-Indonesia.
Dan sayang, tempat
untuk istirahat (duduk, mirip cangkruk) di samping jalan beraspal dekat pantai
pun penuh coretan-coretan anak muda yang usil mengekspresikan hasil tangannya.
Perjalanan kami lanjutkan. Sebenarnya
ingin pula kami ke Goa Gong dan Goa Tabuhan tapi kami lebih memilih pantai yang
mengasyikkan karena waktu libur hanya sehari ini, dan besok harus bekerja
kembali. Wah, dilema. Akhirnya setelah merangkak ke atas, kami melewati jalan
berkelok-kelok naik turun dan banyak tikungan. Di tengah perjalanan, menjumpai
Masjid yang adem dengan suasana pegunungan. Kami sholat dhuhur di sana, saat
berwudhu dingin sekali airnya, cessss ... cesss kulitku merinding teringat saat musim
dingin di Taiwan, air pun dingin seperti es.
Berlanjut ke perjalanan berikutnya, Pantai sebelum Klayar
2 komentar :
Wisata yang asyik ya :)
iya Mak, bagus khan. ni wisata di daerah Pacitan, kelahiran Presiden kita SBY
Posting Komentar