1 Jan 2013

Aku, Kau dan Ponorogo


Kalo ditanya hal apa yang saya ingat dari Ponorogo, pasti saya langsung nyeplos Suamiku, Sekolahku, Reog, Alun-Alun, Telaga Ngebel, ngopi, Masjid Agung, Gontor, Masjid Tegalsari, Makam Batoro Katong, sate ayam, sate kambing, dawet dan lain-lain. Haizzzz mari kita simak.
Meskipun saya lahir di Madiun, tapi saya keturunan Ponorogo (ayah asli Ponorogo) dan alhamdulillah suami saya juga warga Ponorogo, sehingga setelah menikah saya pun diharuskan ikut  suami pindah kependudukan dan ber-KTP-kan Ponorogo dan sampai sekarang menetap di Kota Reog tercinta ini entah untuk berapa lama, karena rumah saya ada di Madiun. Semoga dimampukan oleh Alloh untuk membeli properti, rumah, tanah atau toko di kota yang lebih ramai daripada di rumah saya (Desa Lembah,  perbatasan Ponorogo-Madiun, Dolopo-Kebonsari).
Kantor dan wilayah kerja suami yang berada di Ponorogo bagian selatan menjadikan saya mau tidak mau harus berada di sini, karena sungguh sangat kasihan jika harus melihat suami dengan perjalanan jauh, terburu-buru mengejar waktu apalagi naik sepeda motor ngebut yang bikin saya was-was, tak tenang di rumah. Lagian bisa juga irit bensin dan bisa bangun agak siang (welah efek sampingnya hehe).
Memasuki Kota Ponorogo, ini adalah pemandangan pertama foto tugu Reog Perbatasan Madiun dan kita akan segera  memasuki kawasan Ponorogo. Tugu ini berada di Mlilir-Ngepos Babadan. Berdekatan dengan  pos polisi pertama dekat perempatan Ngepos yang sering ada cegatan (wow, ketahuan SIM-ku Madiun mati dan masih kesusahan buat SIM di Ponorogo hehe). Dan saya pun pernah kena razia karena lampu lupa dinyalakan saat siang hari, STNK ditilang malah akhirnya hilang di Pengadilan Ponorogo. Alamak apes tenan.
Menapaki jalan Ponorogo-Madiun, semakin ke selatan, ada Ponpes Al Ikhlas yang bernuansa hijau, setelah itu kita akan melewati Balai Desa Babadan, SMP 1 Babadan, Ponpes Al Mawaddah akan ada Terminal Seloaji.
MAN 1 Ponorogo , Pabrik Es dan Pos Polisi di dekat perempatan yang di sana saya juga beberapa kali ditilang gara-gara menolong teman tapi membawa kesialan karena teman tak pernah bawa helm (haha Pahlawan kesiangan). Ini cerita saat saya bersekolah di MAN 2 Ponorogo dulu, di sebelahnya ada Masjid Baitur Rohman, depannya  ada SMKN  PGRI 1 Ponorogo dan berjejer toko bunga (nostalgia euy).
Ada Patung Sukowati, tempat saya janjian dengan mantan pacar yang kini menjadi imam syurga saya ini dan rumah mertua berada tak jauh, di dekatnya.
Tak di sangka pula , setelah menikah usaha Warnet saya di Jalan Semeru 07 yang kini tempatnya sudah dibeli oleh mantan  Bupati Ponorogo, saat beliau masih hidup. Sehingga dengan angat terpaksa, kami harus mengikhlaskan tempat kontrakan, meninggalkan pelanggan setia dan harus putar otak  memulai lagi mencari tempat, suasana dan pelanggan warnet baru.
Ternyata, di Kota daerah Kepatihan kurang lebih berjarak 1 km dari Alun-Alun Kota Ponorogo, 5 menit sampai Alun-Alun dengan berjalan kaki. Mendapatkan tempat baru, dekat dengan SMP 2 Ponorogo, SMP  4 Ponorogo, SD dan SMEA PGRI menjadikan warnet kami setiap hari selalu penuh dengan anak-anak yang bermain dan mengerjakan tugas dan ini adalah rezeki dan kegembiraan saya sebagai aktivitas saat jenuh di saat suami bekerja.
Di sini pula, saya mengenal sahabat baik (Mbak Liz) dan mengenal organisasi Buruh Migran (KAMI) yang di dalamnya ada Mbak Ulul (orang Madiun) dan banyak BMI Purna lainnya. Untuk orang di sekitar, banyak ibu-ibu yaasiin-an dan arisan yang biasanya ngobrol cuman seputar masak-memaskan dan ngegosip wahahaha.
Karena merasa masih muda (lebay hehe), saya memang cocok ngobrol ya dengan yang muda. Al hasil anak-anak sekolah yang asli warga sini dan anak SMP 2, SMP 4, SMP 6, SD serta SMEA PGRI-lah teman saya setiap harinya. Dan, menjadi operator warnet, menjadikan saya juga merangkap sebagai Guru Gratis, karena ngerjain tugas bisa dipesan, via sms, fb atau Whatsapp hehe. Canggih bin malas ya anak sekarang. Padahal, kalau teringat zaman saya sekolah buku harus pinjam sana pinjam sini (bagi yang tak mampu membeli buku bacaan seperti saya ini), belum lagi jika mengerjakan soal lima saja, tak semua soal ada jawabannya dalam satu buku hehe. Harus rajin baca, bolak balik halaman dan telaten. Tak ada yang instan, seperti sekarang ini mencari jawaban via Mbah Google. Nah, kalau dulu pengin jawaban benar untuk soal yang sulit ya haru mencari yang lebih pintar, kakak yang juara kelas atau Guru misalnya. Jadi, sangat amat beruntung sekali menurut saya jika menjadi anak seorang Guru dan nantinya bisa kuliah (wahhhh banget …. Gitu lhoh).
Ups, lucu. Saat pertama memasuki area perkotaan, awalnya kami berdua belum terbiasa, terlebih saya yang dari desa. Daerah tinggal suami saya (rumah mertua), meskipun di kota tapi tak seperti ini. Memang sangat aneh bagi kami, tinggal di kota yang serasa diacuhkan, tak seperti di desa. Akan tetapi, pada akhirnya kami malah nyaman dengan suasana ini. Mau keluar jam berapa pun, mau ngapain aja ndak peduli, tetangga ra ngurus hehe.
Tinggal di Kota, dekat dengan Alun-Alun, tempat kuliner dan tempat belanja mempunyai banyak keuntungan untuk menjadi konsumen sejati. Apapun tersedia, tinggal kring diantar pula. Tapi, ini juga bisa menjadi bumerang saat bokek alias kantong kering tak punya uang. Kalau di desa sering ada kenduri, minta bawang, atau bumbu masak sama tetangga biasa, di kota mah gengsi hehe.
Setelah memarkir kendaraan di tepi jalan dengan rapi, kami pun memasuki Alun-Alun Ponorogo. Di bagian tepi alun-alun berdiri beberapa warung kakilima yang terlihat berbaris rapi. Sepertinya telah dilakukan penataan agar kawasan alun-alun tidak terkesan kumuh dan terlihat lebih menarik. Meskipun penataan warung kakilima sudah cukup baik dan lebih rapi,tenda-tenda yang digunakan masih asal-asalan dan tidak seragam. Mungkin hal ini menjadi catatan agar dilakukan penyeragaman tenda agar terlihat lebih rapi dan menarik. Harga yang ditawarkan oleh warung tersebut terbilang cukup murah dan tidak terlampau mahal seperti yang biasa kita temui di kota-kota besar dan kota wisata.
Patung di Panggung Alun-Alun Ponorogo Kami sempat membeli minuman sambil melepas lelah di salah satu warung kakilima yang buka pada siang hari. Selanjutnya kami mencoba berkeliling kawasan Alun-Alun Ponorogo. Pada bagian tengah alun-alun tampak kosong dan hanya ditanami rumput-rumput biasa. Suasana Alun-Alun Ponorogo saat siang cukup sepi dan kemungkinan akan terlihat ramai ketika menjelang sore hari.
Pemandangan gedung pemerintah kabupaten Ponorogo yang menjulang tinggi diantara bangunan kecil terlihat mencolok dari Alun-Alun Ponorogo. Pada sebuah sisi alun-alun terdapat pendopo kecil yang dapat digunakan untuk bersantai. Menurut informasi yang ada, di area tersebut disediakan akses internet gratis melalui wifi dan colokan listrik.
Pada sisi sebaliknya terdapat panggung yang cukup besar dan didominasi cat berwarna hitam. Pada bagian atas panggung terdapat papan melingkar bertuliskan semboyan kabupaten Ponorogo dalam bahasa Jawa. Panggung ini sering digunakan untuk acara konser musik, pertunjukan wayang, pertunjukan ketoprak, dan sebagainya. Setelah puas berkeliling Alun-Alun Ponorogo, kami pun menuju ke Masjid Agung Ponorogo yang ada diseberang alun-alun untuk beribadah dan meneruskan perjalanan menuju ke Yogyakarta.
Beragam fasilitas yang tersedia di kawasan Alun-Alun Ponorogo memang cukup menarik. Sebagai salah satu kota yang masih kental dengan budayanya, Ponorogo menjadi salah satu ikon kota budaya di Jawa Timur. Alangkah baiknya bila kesenian khas daerah secara rutin dipentaskan di kawasan alun-alun setiap minggu. Selain melestarikan budaya juga menarik wisatawan untuk datang ke kota ini.

Tidak ada komentar :