1 Jan 2013

Legenda Telaga Ngebel Ponorogo



Telaga Ngebel  adalah sebuah danau alami yang indah nan asri dikelilingi hutan cagar alam di Timur laut kota Ponorogo dan berada di kaki gunung  Wilis tepatnya di Kecamatan NgebelKabupaten Ponorogo. Letaknya yang hanya 20 KM dan dapat ditempuh kurang dari 1 jam dari pusat Kota Reog sehingga menjadikan danau ini sebagai alternative tujuan wisata yang cukup digemari warga Ponorogo dan sekitarnya.
Danau ini terbilang cukup luas, kelilingnya sekitar 5 KM. Dengan suhu antara 20 - 26 derajat celcius, suhu dingin nan sejuk membuat
pengunjung makin nyaman mengunjungi Telaga Ngebel. Selain Reog, Telaga Ngebel merupakan salah satu andalan wisata yang dimiliki Kabupaten Ponorogo. Pemasok air bagi Telaga Ngebel terdiri dari berbagai sumber. Sumber air yang cukup deras berasal dari Kanal Santen. Selain itu, juga terdapat sungai yang mengalirinya, dimana dibagian hulu sungai terdapat air terjun yang diberi nama Air Terjun Toyomarto.
Seperti kebanyakan tempat di Indonesia, terdapat cerita legenda mengenai asal mula telaga Ngebel. Bagaimana legenda asal mula Telaga Ngebel, berikut
kisahnya:

Di kaki Gunung Wilis bagian barat, ada seorang pertapa yang mempunyai seorang anak gadis. Gadis tersebut melakukan dosa yang sangat besar sehingga saat melahirkan, anak yang lahir bukanlah seorang bayi namun seekor ular naga yang kemudian diberi nama Baru Klinthing.

Baru Klinthing berharap menjadi manusia seutuhnya dan diakui anak oleh ayahnya. Sang ayah mau mengakui dengan syarat naga tersebut harus mampu melingkari gunung Wilis dengan tubuhnya.

Baru Klinthing pun bersemedi, tubuhnya menjadi naga raksasa dan hampir berhasil memutari gunung Wilis hingga hanya kurang sejengkal (sekilan dalam bahasa Jawa). Baru Klinthing menjulurkan lidahnya untuk menggenapi syarat itu, tiba tiba ayahnya menghunus keris dan memotong lidah Baru Klinthing sehingga upayanya gagal. Dia pun murka dan hendak menelan ayahnya.

”Anakku, aku memotong lidahmu karena lidah ular bercabang dua sedangkan lidah manusia tidak boleh bercabang dua, bersabarlah kelak Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) akan menerimamu”, kata sang ayah .

Akhirnya Baru Klinthing meneruskan semedinya. Ratusan tahun kemudian penduduk desa di kaki gunung Wilis berburu ke hutan untuk pesta desa namun tak mendapat hasil. Karena lelah seorang penduduk membacok sebatang pohon yang anehnya mengeluarkan darah. Penduduk kemudian tahu bahwa pohon tersebut adalah seekor ular. Bukannya takut, mereka malah bersuka ria membunuh ular tersebut untuk diambil dagingnya kemudian pulang dan mengggelar pesta besar sambil memasak daging ular tersebut. Di tengah pesta datang seorang anak kecil dengan badan penuh luka meminta sedikit makanan. Sebenarnya anak tersebut adalah jelmaan Baru Klinthing, tubuhnya penuh luka akibat jasad naganya diambil dan dikuliti oleh penduduk desa.

Bukannya berbelas kasihan, penduduk desa malah mencaci maki dan melempari anak tersebut tanpa diberi makan sedikitpun. Ada seorang janda tua bernama Nyai Latung merasa kasihan sehingga jatah makanannya ia berikan padanya.

Anak tersebut kemudian berkata kepada Nyai Latung.

 ”Mbok, baik benar hatimu, sekarang pulanglah! nanti kalau terjadi huru hara jangan takut dan jangan gentar, naiklah ke lesung (tempat menumbuk padi jaman dahulu yang berbentuk seperti perahu) dan peganglah enthong (alat mengambil nasi yang mirip dayung perahu) aku hendak memberi pelajaran manusia serakah dan tak kenal belas kasihan ini".

Nyai Latung pun pulang meski dengan hati yang heran. Anak kecil jelmaan Baru Klinthing kemudian pergi ke tengah keramaian pesta, sambil membawa sekerat daging besar dan ia memutuskan untuk membuat sayembara.
Dia berkata, ”Aku punya sekerat daging besar, siapa bisa mencabut lidi yang aku tancapkan akan aku beri daging ini, kalau gagal akan aku minta daging kalian”. 
Tantangan ini disambut antusias penduduk desa yang serakah. Hal aneh terjadi, sebatang lidi yang ditancapkan ke tanah tak bisa dicabut meski oleh orang paling kuat. Akhirnya penduduk desa semua berkumpul ke tempat tersebut.
Saat semua telah berkumpul anak jelmaan Baru Klinthing berkata, ”Manusia serakah dan tak kenal belas kasihan, dagingku kalian ambil tapi sedikitpun kalian tak sudi memberiku, anak yang sedang kelaparan, terimalah ini pembalasanku”.
Tidak ada yang berhasil mencabutnya. Bocah ajaib itulah yang berhasil mencabutnya. Sambil mencabut lidi yang ditancapkannya, bumi bergoncang dan langit gelap gulita, bekas lidi tersebut mengeluarkan air deras yang luar biasa. Penduduk berlarian mencari keselamatan namun tanah retak dimana mana dan segera tertelan bumi. Desa tersebut tenggelam  air pun menggenang dan membentuk sebuah Telaga dan penduduk mati tenggelam.
Nyai Latung selamat dari terjangan air bah karena mendengar pesan dari Baru Klinthing. Tanah desa tersebut kemudian menjadi daerah berair mengeluarkan bau menyengat (dalam bahasa Jawa disebut ngembel) dan sampai sekarang daerah tersebut kemudian diberi nama Ngebel.

Legenda Telaga Ngebel ini konon terkait erat dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon salah seorang pendiri Kabupaten ini yakni Batoro Katong. Sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro.

Legenda ini saya rangkum dari berbagai sumber sebagai penghargaan khazanah budaya bangsa. Ada beberapa versi berbeda dalam setiap legenda namun bertujuan sama yakni mengambil hikmah di dalamnya karena legenda menekankan aspek pendidikan moral, jangan dipertentangkan dengan aspek realitas historis (kebenaran dari segi ilmiah dan sejarah).

Pesan moral yang bisa diambil : Kelaliman, keserakahan dan keangkuhan akhirnya mendapat hukuman / balasan, yang akibatnya tak hanya merugikan ‘si Angkuh” sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu, jangan sombong jangan terlalu meremehkan orang kecil, lemah atau buruk penampilannya. Karena bisa jadi, orang itu menyimpan suatu kelebihan pada dirinya. Legenda ini mirip sekali dengan Rawapening di Jawa Tengah.

Referensi : 
dan masih ada lainnya










1 komentar :

Unknown mengatakan...

Eh Emak Mugniar, injeh benar.

Iyapz barusan main ke sana baru beberapa bulan ini.

Mantabz banged, Pak Dhe Cholik emang keren

Iki dirasani ibu-ibu kerasa ndak ya hehe