Kalo ditanya
hal apa yang saya ingat dari Ponorogo, pasti saya langsung nyeplos Suamiku,
Sekolahku, Reog, Alun-Alun, Telaga Ngebel, ngopi, Masjid Agung, Gontor, Masjid
Tegalsari, Makam Batoro Katong, sate ayam, sate kambing, dawet dan lain-lain.
Haizzzz mari kita simak.
Meskipun saya lahir
di Madiun, tapi saya keturunan Ponorogo (ayah asli Ponorogo) dan alhamdulillah
suami saya juga warga Ponorogo, sehingga setelah menikah saya pun diharuskan
ikut suami pindah kependudukan dan ber-KTP-kan
Ponorogo dan sampai sekarang menetap di Kota Reog tercinta ini entah untuk
berapa lama, karena rumah saya ada di Madiun. Semoga dimampukan oleh Alloh
untuk membeli properti, rumah, tanah atau toko di kota yang lebih ramai
daripada di rumah saya (Desa Lembah, perbatasan
Ponorogo-Madiun, Dolopo-Kebonsari).
Kantor dan
wilayah kerja suami yang berada di Ponorogo bagian selatan menjadikan saya mau
tidak mau harus berada di sini, karena sungguh sangat kasihan jika harus melihat
suami dengan perjalanan jauh, terburu-buru mengejar waktu apalagi naik sepeda
motor ngebut yang bikin saya was-was, tak tenang di rumah. Lagian bisa juga
irit bensin dan bisa bangun agak siang (welah efek sampingnya hehe).
Memasuki Kota
Ponorogo, ini adalah pemandangan pertama foto tugu Reog Perbatasan Madiun dan kita
akan segera memasuki kawasan Ponorogo.
Tugu ini berada di Mlilir-Ngepos Babadan. Berdekatan dengan pos polisi pertama dekat perempatan Ngepos
yang sering ada cegatan (wow, ketahuan SIM-ku Madiun mati dan masih kesusahan
buat SIM di Ponorogo hehe). Dan saya pun pernah kena razia karena lampu lupa
dinyalakan saat siang hari, STNK ditilang malah akhirnya hilang di Pengadilan
Ponorogo. Alamak apes tenan.
Menapaki jalan Ponorogo-Madiun, semakin
ke selatan, ada Ponpes Al Ikhlas yang bernuansa hijau, setelah itu kita akan melewati
Balai Desa Babadan, SMP 1 Babadan, Ponpes Al Mawaddah akan ada Terminal Seloaji.
MAN 1 Ponorogo , Pabrik Es dan
Pos Polisi di dekat perempatan yang di sana saya juga beberapa kali ditilang
gara-gara menolong teman tapi membawa kesialan karena teman tak pernah bawa
helm (haha Pahlawan kesiangan). Ini cerita saat saya bersekolah di MAN 2 Ponorogo
dulu, di sebelahnya ada Masjid Baitur Rohman, depannya ada SMKN PGRI 1 Ponorogo dan berjejer toko bunga (nostalgia
euy).
Ada Patung Sukowati, tempat saya
janjian dengan mantan pacar yang kini menjadi imam syurga saya ini dan rumah
mertua berada tak jauh, di dekatnya.
Tak di sangka pula , setelah
menikah usaha Warnet saya di Jalan Semeru 07 yang kini tempatnya sudah dibeli
oleh mantan Bupati Ponorogo, saat beliau
masih hidup. Sehingga dengan angat terpaksa, kami harus mengikhlaskan tempat
kontrakan, meninggalkan pelanggan setia dan harus putar otak memulai lagi mencari tempat, suasana dan pelanggan
warnet baru.
Ternyata, di Kota daerah Kepatihan
kurang lebih berjarak 1 km dari Alun-Alun Kota Ponorogo, 5 menit sampai Alun-Alun
dengan berjalan kaki. Mendapatkan tempat baru, dekat dengan SMP 2 Ponorogo,
SMP 4 Ponorogo, SD dan SMEA PGRI
menjadikan warnet kami setiap hari selalu penuh dengan anak-anak yang bermain
dan mengerjakan tugas dan ini adalah rezeki dan kegembiraan saya sebagai
aktivitas saat jenuh di saat suami bekerja.
Di sini pula, saya mengenal
sahabat baik (Mbak Liz) dan mengenal organisasi Buruh Migran (KAMI) yang di
dalamnya ada Mbak Ulul (orang Madiun) dan banyak BMI Purna lainnya. Untuk orang
di sekitar, banyak ibu-ibu yaasiin-an dan arisan yang biasanya ngobrol cuman
seputar masak-memaskan dan ngegosip wahahaha.
Karena merasa masih muda (lebay
hehe), saya memang cocok ngobrol ya dengan yang muda. Al hasil anak-anak sekolah
yang asli warga sini dan anak SMP 2, SMP 4, SMP 6, SD serta SMEA PGRI-lah teman
saya setiap harinya. Dan, menjadi operator warnet, menjadikan saya juga
merangkap sebagai Guru Gratis, karena ngerjain tugas bisa dipesan, via sms, fb
atau Whatsapp hehe. Canggih bin malas ya anak sekarang. Padahal, kalau teringat
zaman saya sekolah buku harus pinjam sana pinjam sini (bagi yang tak mampu
membeli buku bacaan seperti saya ini), belum lagi jika mengerjakan soal lima
saja, tak semua soal ada jawabannya dalam satu buku hehe. Harus rajin baca,
bolak balik halaman dan telaten. Tak ada yang instan, seperti sekarang ini
mencari jawaban via Mbah Google. Nah, kalau dulu pengin jawaban benar untuk
soal yang sulit ya haru mencari yang lebih pintar, kakak yang juara kelas atau
Guru misalnya. Jadi, sangat amat beruntung sekali menurut saya jika menjadi
anak seorang Guru dan nantinya bisa kuliah (wahhhh banget …. Gitu lhoh).
Ups, lucu. Saat pertama memasuki
area perkotaan, awalnya kami berdua belum terbiasa, terlebih saya yang dari
desa. Daerah tinggal suami saya (rumah mertua), meskipun di kota tapi tak
seperti ini. Memang sangat aneh bagi kami, tinggal di kota yang serasa diacuhkan,
tak seperti di desa. Akan tetapi, pada akhirnya kami malah nyaman dengan
suasana ini. Mau keluar jam berapa pun, mau ngapain aja ndak peduli, tetangga
ra ngurus hehe.
Tinggal di Kota, dekat dengan
Alun-Alun, tempat kuliner dan tempat belanja mempunyai banyak keuntungan untuk
menjadi konsumen sejati. Apapun tersedia, tinggal kring diantar pula. Tapi, ini
juga bisa menjadi bumerang saat bokek alias kantong kering tak punya uang.
Kalau di desa sering ada kenduri, minta bawang, atau bumbu masak sama tetangga
biasa, di kota mah gengsi hehe.
Setelah memarkir kendaraan di
tepi jalan dengan rapi, kami pun memasuki Alun-Alun Ponorogo. Di bagian tepi
alun-alun berdiri beberapa warung kakilima yang terlihat berbaris rapi.
Sepertinya telah dilakukan penataan agar kawasan alun-alun tidak terkesan kumuh
dan terlihat lebih menarik. Meskipun penataan warung kakilima sudah cukup baik
dan lebih rapi,tenda-tenda yang digunakan masih asal-asalan dan tidak seragam.
Mungkin hal ini menjadi catatan agar dilakukan penyeragaman tenda agar terlihat
lebih rapi dan menarik. Harga yang ditawarkan oleh warung tersebut terbilang
cukup murah dan tidak terlampau mahal seperti yang biasa kita temui di
kota-kota besar dan kota wisata.
Patung di Panggung Alun-Alun
Ponorogo Kami sempat membeli minuman sambil melepas lelah di salah satu warung kakilima
yang buka pada siang hari. Selanjutnya kami mencoba berkeliling kawasan
Alun-Alun Ponorogo. Pada bagian tengah alun-alun tampak kosong dan hanya
ditanami rumput-rumput biasa. Suasana Alun-Alun Ponorogo saat siang cukup sepi
dan kemungkinan akan terlihat ramai ketika menjelang sore hari.
Pemandangan gedung pemerintah
kabupaten Ponorogo yang menjulang tinggi diantara bangunan kecil terlihat
mencolok dari Alun-Alun Ponorogo. Pada sebuah sisi alun-alun terdapat pendopo
kecil yang dapat digunakan untuk bersantai. Menurut informasi yang ada, di area
tersebut disediakan akses internet gratis melalui wifi dan colokan listrik.
Pada sisi sebaliknya terdapat
panggung yang cukup besar dan didominasi cat berwarna hitam. Pada bagian atas
panggung terdapat papan melingkar bertuliskan semboyan kabupaten Ponorogo dalam
bahasa Jawa. Panggung ini sering digunakan untuk acara konser musik,
pertunjukan wayang, pertunjukan ketoprak, dan sebagainya. Setelah puas
berkeliling Alun-Alun Ponorogo, kami pun menuju ke Masjid Agung Ponorogo yang
ada diseberang alun-alun untuk beribadah dan meneruskan perjalanan menuju ke
Yogyakarta.
Beragam fasilitas yang tersedia
di kawasan Alun-Alun Ponorogo memang cukup menarik. Sebagai salah satu kota
yang masih kental dengan budayanya, Ponorogo menjadi salah satu ikon kota
budaya di Jawa Timur. Alangkah baiknya bila kesenian khas daerah secara rutin
dipentaskan di kawasan alun-alun setiap minggu. Selain melestarikan budaya juga
menarik wisatawan untuk datang ke kota ini.